Sepenggal Filosofi Angka dan Fase Kehidupan dalam Budaya Jawa

Riyo Arie Pratama
0
Dalam budaya Jawa, angka bukan sekadar alat untuk menghitung atau mengukur. Lebih dari itu, setiap angka menyimpan makna mendalam yang mencerminkan fase-fase kehidupan manusia. Angka-angka ini, yang tampaknya sederhana, membawa pesan filosofis yang kaya dan memberikan panduan bagi manusia dalam menjalani hidup mereka. Mari kita telusuri bagaimana angka-angka seperti "selawe" (25), "seket" (50), dan "sewidak" (60) serta angka-angka lainnya memainkan peran penting dalam budaya Jawa.

www.grid.id


Filosofi angka dalam budaya Jawa erat kaitannya dengan konsep Cakra Manggilingan, yang berarti roda kehidupan. Dalam konsep ini, kehidupan manusia digambarkan sebagai siklus yang terus berputar, dengan setiap fase kehidupan diwakili oleh angka-angka tertentu. Cakra Manggilingan terbagi menjadi dua: Jagad Gedhe (makrokosmos) dan Jagad Cilik (mikrokosmos). Jagad Gedhe menggambarkan alam semesta secara keseluruhan, sedangkan Jagad Cilik menggambarkan fase-fase kehidupan manusia.

Awal Kehidupan

Fase awal kehidupan manusia dimulai dari nol hingga lima tahun. Angka nol dalam budaya Jawa mewakili keadaan sebelum lahir, ketika seseorang masih berada di alam roh. Dalam tembang macapat, fase ini dikenal sebagai Maskumambang, yang menggambarkan janin dalam kandungan ibu.

Setelah lahir, angka satu menandai awal kehidupan fisik, dikenal sebagai Mijil. Dalam fase ini, seorang anak mulai mengeksplorasi dunia di sekitarnya. Angka dua melambangkan dualitas dalam kehidupan manusia, simbol pilihan yang harus dihadapi sejak dini. Tradisi Jawa kuno sering mengadakan upacara ketika bayi berusia 7 bulan, memberikan berbagai barang untuk dipilih oleh bayi, melatihnya membuat keputusan.

Angka tiga adalah simbol keseimbangan, idealisme, dan harmoni. Tiga titik membentuk segitiga, dasar dari berbagai bentuk bangun datar, menggambarkan awal, tengah, dan akhir dari suatu proses. Sedangkan angka empat melambangkan kompleksitas dan variasi dalam kehidupan. Angka lima menandai akhir masa balita, saat anak mulai menunjukkan perkembangan karakter yang lebih kompleks.

Masa Kanak-Kanak dan Remaja

Usia enam hingga sepuluh tahun berada dalam fase Sinom dalam tembang macapat, yang menggambarkan masa muda penuh harapan. Pengaruh orang tua sangat penting pada fase ini untuk membentuk karakter dasar anak. Usia ini adalah masa anak-anak mengembangkan imajinasi dan harapan yang tinggi.

Memasuki usia sebelas hingga sembilan belas, kita berada dalam fase Kinanthi. Kata "kinanthi" berasal dari "tuntunan" dan "kanthi" yang berarti bimbingan. Fase ini adalah saat untuk membentuk identitas dan mengejar tujuan hidup dengan tuntunan orang tua yang penuh kasih sayang. Pada fase ini, anak-anak diajari nilai kasih sayang, simbolis melalui angka sebelas yang tidak disebut "sepuluh satu" tapi "sewelas" (dari kata welas yang berarti kasih sayang).

seputarlampung.pikiran-rakyat.com


Dewasa Muda

Fase dewasa muda mencakup usia dua puluh hingga tiga puluh, yang berada dalam lagu macapat Asmarandana. Usia ini adalah momentum penting untuk memilih dan menekuni profesi, serta menentukan pasangan hidup. Dalam budaya Jawa, angka dua puluh satu bukan disebut "dua puluh satu" tetapi "selikur", yang berarti duduk di kursi, simbol dari menempati posisi atau profesi yang sesuai dengan kepribadian seseorang.

Angka dua puluh lima, atau "selawe", adalah angka spesial yang menandai usia ideal untuk menikah. Ini adalah masa di mana seseorang dianggap siap untuk memulai kehidupan berumah tangga, simbol dari fase Gambuh dalam macapat, yang berarti bersatu atau menyatukan cinta dalam pernikahan.

Kemapanan dan Kedewasaan

Usia tiga puluh satu hingga tiga puluh sembilan berada dalam fase Dhandhanggula, yang menggambarkan stabilitas dan kesejahteraan sosial. Pada usia ini, seseorang biasanya telah mencapai kestabilan dalam berbagai aspek kehidupan seperti karir, rumah tangga, dan sosial. Fase ini menandakan bahwa seseorang telah mencapai kemapanan dan siap untuk memikirkan kontribusi lebih luas kepada masyarakat.

Menjelang Puncak Kehidupan

Empat puluh adalah usia yang sangat penting, sering disebut sebagai usia kematangan penuh. Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul pada usia ini, yang menunjukkan betapa pentingnya usia empat puluh dalam kehidupan manusia. Dalam budaya Jawa, angka empat puluh adalah saat untuk mulai fokus pada amal dan kontribusi bagi orang lain. Lagu macapat yang menggambarkan fase ini adalah Durma, yang berarti kebajikan dan kebijakan.

Memasuki usia lima puluh, atau "seket", seseorang diharapkan untuk lebih banyak beribadah dan mengurangi keinginan duniawi. "Seket" berasal dari kiasan "suka memakai kethu" (kopiah), simbol dari kesalehan dan ketenangan spiritual. Lagu macapat yang menggambarkan fase ini adalah Pangkur, yang berarti rela menolak nafsu buruk dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Akhir Kehidupan

Usia enam puluh disebut "sewidak", berasal dari kata "sewadah" yang berarti sudah siap untuk pergi. Ini adalah usia di mana seseorang diharapkan untuk sepenuhnya fokus pada kehidupan spiritual dan persiapan menghadapi kematian. Enam puluh adalah batas akhir kehidupan aktif dalam banyak budaya, dan dalam budaya Jawa, fase ini digambarkan dalam lagu macapat Megatruh, yang berarti pemisahan roh dari jasad.


rejogja.republika.co.id/


Menghadapi Kematian

Setelah kematian, fase terakhir dalam kehidupan manusia adalah Pocung, yang berarti pocong. Ini menggambarkan saat tubuh sudah dibungkus kain kafan dan roh kembali kepada Tuhan. Pada tahap ini, tidak ada lagi yang berguna selain amal baik yang telah dilakukan selama hidup. Tiga hal yang tetap bermanfaat adalah amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh/sholehah.


Filosofi angka dalam budaya Jawa mengajarkan bahwa kedewasaan dan kebijaksanaan tidak ditentukan oleh usia semata, tetapi oleh pengalaman dan ilmu yang kita peroleh sepanjang hidup. Setiap fase kehidupan memiliki tantangan dan peluangnya sendiri, dan memahami filosofi ini dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih bijak.

Dengan memahami makna mendalam dari angka-angka ini, kita dapat lebih menghargai setiap fase kehidupan kita, dari masa kanak-kanak hingga usia tua, dan menjalani hidup dengan lebih bijaksana dan penuh makna. Setiap angka membawa pesan penting yang dapat menjadi panduan kita dalam menghadapi berbagai tantangan dan meraih kebahagiaan sejati.

Jadi, mari kita belajar dan merenungkan makna dari setiap apa hal yang kita temui, misalnya kali ini filosofi angka dalam kehidupan kita, agar kita dapat hidup lebih selaras dengan alam semesta dan menjalani hidup yang lebih bermakna. Filosofi angka dalam budaya Jawa bukan hanya sekadar pengetahuan, tetapi juga sebuah kebijaksanaan yang dapat membantu kita memahami diri sendiri dan dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

Tag Terpopuler